TV

Rabu, 16 Februari 2011

Konser metal lokal terheboh tahun 2010

METAL UNTUK SEMUA "Konser Pro Pruralisme dan Anti Terorisme"
Minggu, 17 Oktober 2010 @ Bulungan Outdoor, Jakarta, Indonesia
"[Bisa jadi] Awalnya Cuma Masalah Jari"
Fakta Gila: sebuah  pagelaran metal lokal paling ramai tahun ini bisa jadi digelar karena rivalitas jumlah jari!
Sejujurnya, saya tidak pernah peduli mana yang berjari tunggal atau tidak. Jika apa yang disuguhkan di atas panggung menarik dan tereksekusi dengan baik, apa masih perlu menghitung berapa jari yang harus diacungkan?
Masalahnya, kalau ternyata satu kelompok ekslusif sementara yang lain bersifat inklusif, maka sejak saat itu otak saya bekerja untuk mengawasi berapa jari yang hendak saya acungkan kala menghadiri sebuah pagelaran metal. Biar kita blak-blakan saja: saya lebih condong pada mereka yang tidak ekslusif, mereka yang open minded, mereka yang tak mempersalahkan apa keyakinanmu dan mereka yang mengganggap metal sebagai lahan bermain luas. Sebentar, apa darah saya mulai halal mulai titik kalimat tadi?
Metal Untuk Semua (MUS) adalah sebuah usaha untuk kembali menjadikan metal tanah tak bertuan. Menjadi suatu yang berlebihan ketika salah satu golongan ingin mengkooptasi metal menjadi suatu domain eksklusif suatu kepercayaan tertentu. Memang tidak pernah saya dengar bahwa metal akan segera dihijrahkan dalam pangkuan agama tertentu. Namun jika itu benar, itu adalah paling paranoid yang pernah saya dengar.
Metal Untuk Semua adalah langkah pertama untuk mencegah metal menjadi ekslusif. Metal Untuk Semua adalah front awal penjaga ke-multiwarna-an metal. Setidaknya begitu, kata 3000 orang lebih orang hadir hari itu.
Liturgi I: Panggung Orasi dan Karnaval Pengingkar Keseragaman
Dengan memborong 19 ben multi subgenre metal, MUS sukses menjadi lahan pemuas dahaga murah para metalhead. Dari awal memang sudah dibeberkan bahwa tak ada satupun artis yang dibayar di panggung malam itu. Lebih hebatnya lagi, rundown ternyata ditentukan dengan secara acak –sumbernya dari ucapan Doni Iblis di atas panggung. Tak ayal, jika harga tiket masuk yang dipatok 35.000 menjadi sebuah imbalan pantas untuk sebuah konser fenomenal di ranah suci metal Bulungan, Jakarta. Mau bukti? Tanyakan saja pada mereka yang masih membeli tiket hanya tinggal SiksaKubur dan Roxx (saja) yang belum main.
Namun bukan hanya antusiasme penonton yang fenomenal, celoteh para penampil jadi tontonan utama acara itu. Sebagai konser yang digadang untuk meningkahi pemurtadan metal, maka orasi atas panggung adalah sebuah keniscayaan yang dinantikan.
Adalah Arian Arifin yang keluar sebagai frontman paling comel sore itu. Di sela-sela aksi panggung ben-nya yang memamerkan beberapa lagu baru –“Dilarang di Bandung” dan “Program Party Seringai”–, Arian membeberkan antipatinya pada seorang Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring. Setidaknya bocah tua nakal ini menyebut 3 alasan akan sikapnya itu. Semua terangkum dalam 3 frase: Verbal Abuse, Oversimplistic Logic, dan Unappropriate Language.
Lebih dari itu, Arian memang punya quest tersendiri. Seminggu sebelumnya, Arian berorasi kontroversial saat Seringai manggung di Java RockingLand 2010. Orasi menyerang kebijakan sensor yang digagas oleh lagi-lagi orang sama dan menuai badai cercaan di jejaring sosial karena dianggap memojokkan agama tertentu. Maka, sore itu sehabis hujan reda, vokalis menolak tua itu mengklarifikasi semua pernyataannya; sejatinya memang benar bahwa ia menyerang kebijakan sensor lemah dan bodoh yang setengah-setengah dan menganjurkan pendidikan seks yang berkualitas.
Arian juga menolak menyerang Islam namun ia memang menyerang kekolotan masyarakat Arab. “Wanita tak punya kebebasan memilih di Arab!” Mungkin tak sama seperti yang diungkapkan Arian, tapi kira-kira begitu salah satu pernyataannya. Superb! Malam itu 2 orasi Arian dalam 2 minggu berturut-turut seakan menemukan rumahnya. Entah disengaja atau tidak, semuanya tepat. Lalu “Mengadili Persepsi” pun  menemukan konteksnya sekali lagi.
Mundur beberapa saat sebelum Arian, vokalis Funeral Inception, Doni Iblis merekonstruksi image kafir yang kerap dilekatkan padanya dengan salam pembuka provokatif. “Assalamualaikum warrahmatullahi wabarokatuh, merupakan suatu yang ironis ketika seorang yang dianggap kafir bisa mengucapkan salam.” Kalimat selanjutnya jauh lebih sakti lagi: “Ini buat yang kafir dan tidak kafir, ‘Kafir’ dari Nile!” Sontak penonton menyambut lagu dahsyat itu dengan suka cita.
Telaah lagi kalimat kedua Doni! Ini adalah kalimat penegas penolakan kooptasi metal oleh golongan tertentu. Metal milik yang kafir dan non-kafir. Nanti suatu ketika di sore itu Doni menyiratkan bahwa kafir adalah terminologi kenyal yang bisa dibentuk dan dilekatkan pada siapapun oleh siapapun tergantung dimana ia berdiri. Semua orang kafir dan bukan kafir secara bersamaan, jadi buat apa metal dihomogenkan.
Ada yang menarik kala Funeral Inception tampil. Inilah pertama kalinya hujan turun sore itu –seperti kata Arian: alam tak usah dilawan–, namun gatal rasanya untuk menyebut kebetulan ini sebagai suatu yang mengagumkan. Hujan turun tepat ketika ben yang dipandang paling kafir ini beraksi. Sayang kita selalu mengadili tuhan. In Absentia, jika tidak mungkin bisa kita tanyai apakah ia menyetujui apa yang dikhotbahkan oleh Doni Iblis.
Namun, Doni berkilah dalam satu pesan di jejaring soalnya; “Ni hujan gak berani turun pas ‘Kafir’. Kelar ‘Kafir’, ‘Relijiusitas Artifisial’, baru diguyur hujan huahaha. Pas ‘Surga...’ [‘Surga di Bawah Telapak Kaki Anjing’-red], udah reda. Berarti mungkin yang di Atas setuju dengan apa yang gw ungkapin.” Nah, kalo yang itu Tuhan pun jengah tak hanya kau, Doni.
Sejatinya, tak hanya Arian13 dan Doni Iblis yang berorasi malam itu. Layaknya pada sebuah konser yang berfungsi sebagai statement atas suatu kondisi, maka semua performer berlomba unjuk opini. Ada yang mengambil jalan tengah menganjurkan agar tidak usah membedakan yang satu jari dan dua jari. Yang lain mensakralkan kembali devil’s horn dengan membantah eksistensi pesan zionis di dalamnya. Sayang, pesan perlawanan paling kentara mengalir dari mulut dua frontman yang saya sebut di awal paragraf. Mungkin yang lainnya butuh pengalaman untuk berorasi di atas panggung.
Liturgi II: Metal Adalah Taman Bermain Kalian
“Metal is fun.” Kalimat itu meluncur dari basis urakan greencore Bandung, Rajasinga. Gerombolan berisi 3 orang unik ini juga mengerami kalimat tersebut. Rajasinga sukses bersenang-senang hari itu dengan mengumbar repertoir seperti ‘Soundtrack Balap’, ‘Premandulisme’, ‘Pandora’, beberapa lagu baru sembari terus menolak memainkan ‘Sumanto’.
“Kami tadi takut menyebut moto konser ini, ehm, Anti pluralisme dan pro terorisme!” lagi-lagi ini bukan rekaman yang tepat atas apa yang diungkapkan oleh basis yang kerap memamerkan logat Melayunya ketimbang dialek Sunda walau berbasis di Bandung –entah berapa kali mengucapkan kata “pantek” pada semua yang ia benci. Ah, ngomong-ngomong masalah moto MSU, Rajasinga adalah contoh unik tentang betapa indahnya pluralisme. Sebagai satu-satu wakil dari Bandung, Rajasinga justru tampil sebagai ben paling berlogat Melayu dari semua ben yang manggung hari. Maklum kawan, layaknya Komunal, Rajasinga adalah sebuah unit grindcore Bandung yang disusupi perantau dari Sumatra. Tak heran jika ben ini memiliki 2 plugin bahasa: Melayu dan Priangan. Unik bukan menjadi heterogen?
Metal memang untuk senang-senang. Kalau tidak untuk bersenang-senang, lantas buat apa berpanas-panas ria di siang bolong kala Nino Aspiranta, dkk memainkan ‘Human Suffering’ dari album mereka paling tua? Trauma, veteran death metal lokal memang main cukup pagi, 1 jam satu siang tepat setelah Gigantor (darah muda thrash metal revival lokal) turun panggung. Masa langsung menggerombol di depan panggung –gerombolan masif pertama siang itu– saat Nino dkk beraksi. Setelah menggeber repertoir dari “Dominasi Kemenangan” lantas mundur ke belakang, Nino berpesan: “Jagalah metal karena ini adalah taman bermain kalian.”
Metal memang harus dipertahankan. Jika tidak, mana bisa kita melihat fenomena pemetaan geografis metalhead di Indonesia. Saya pernah ditantang seorang teman untuk menunjukkan bahwa preferensi subgenre metal dengan lokasi geografis dan kelas sosial. Bahkan, di Bulungan sore hari itu pun kita bisa melihat beberapa metalhead yang jelas datang jauh-jauh dari luar Jakarta; metalhead yang bangga memakai t-shirt show di sebuah kota yang saya hanya kenali sebagai sebuah titik di Pulau Jawa. Mereka memenuhi bibir panggung saat ben progressive gothic metal Gelap beraksi; mengangkat tangan kala Rinsdark menantang, “Mana yang dari Pekalongan? Mana yang dari Cirebon?”
Ah, saya teringat The Deadheads dan jawaban atas tantangan kawanku. Saya yakin masa yang sama juga, meminjam rima Homicide, melangkitkan kepalan saat Arul Power Metal naik panggung bersama Dreamer karena gothic metal dan traditional, orthodox atau second wave black metal masih mengakar di tempat mereka berasal.
Ngomong-ngomong soal Dreamer, MC Soleh Solihun bersenang-senang memuja lengkung tubuh frontwoman-nya; “Itu mbak-mbak Dreamer sehat sekali!”  Soon-to-be-Journalist-Turned-Stand-Up-Comedian berkali-kali mengumbar kalimat itu di tengah canda andalannya tentang kopian SNI dan musnah imej seram metal di depan pasukan putih-putih.
Tapi, kalau masalah mulut, Jaya Roxx adalah bangsatnya. Rocker keladi ini tak segan-segan mengumbar seloroh selangkangan sembari mengisi waktu tenggang antara lagu ‘5 cm’, ‘Heroine’, ‘Rock Bergema’, dan (penutup) ‘Seek & Destroy’-nya Metallica. Ya, Jaya dkk bersenang-senang bersama mereka yang tersisa sebagian metalhead meninggalkan Bulungan saat SiksaKubur menyelesaikan setnya sebelum Roxx. ‘Seek & Destroy’ adalah penutup yang tepat. Untung syair lawas itu keluar dari Trison yang terus mendendangkan dengan tersenyum. Bayangkan, jika lagu ini dinyanyikan dan dihayati dengan dangkal oleh mereka yang senang semuanya seragam. Niscaya metal akan milik satu golongan saja dan pastinya kita tak pernah mendengar lagi Jaya berkata: “Daripada ngebom mendingan Ngecrot!”
Ayolah Tuan...jangan metal diseragamkan, jangan metal dikooptasi. Metal Untuk Semua untuk kamu dan untuk kami. Innalilahi Tuan, jika itu terjadi. Masa, kami ber-headbang pada sebuah konser Jazz?!
Konser metal lokal terheboh tahun 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar